Loading
Bicara soal bahan bakar minyak memang tidak pernah ada habisnya, apalagi pembatasan BBM bersubsidi. Pada kenyataannya, rakyat sudah dibohongi pemerintah sekian lama.
Pakar perminyakan Kurtubi menegaskan, hitung-hitungan subsidi yang dimiliki pemerintah salah total. Ia mengaku telah menangkap kerancuan dalam istilah ataupun penghitungan subsidi BBM yang digunakan pemerintah.
Menurut aturan yang berlaku umum di dunia internasional, kata Kurtubi, subsidi adalah selisih dari biaya dan harga jual. Namun, subsidi yang justru digunakan pemerintah adalah selisih harga pasar internasional dan harga jual dalam negeri. Yang tampak adalah, kata dia, pemerintah seolah-olah merugi.
"Jadi, subsidi BBM tidak mengacu pada harga pokok internasional, tetapi harga pokok di Singapura. Jadinya besar subsidi. Padahal, kalau lihat biaya pokok enggak seperti itu. Hitungan pemerintah salah total. Itu bisa dibilang tipu-tipu. Agar kelihatan subsidinya gede, dibilang enggak ada dana untuk infrastruktur dan sebagainya. Kalau lihat biaya pokok enggak sampai. Keliru, salah total perhitungan pemerintah," katanya di Wisma Antara, Sabtu (22/1/2011).
Oleh karena itu, Kurtubi mendesak pemerintah kembali ke hitungan universal yang berlaku di dunia. Menurut dia, dengan alur produksi migas di Indonesia selama ini, harga pokok produksi BBM (premium) hanya Rp 6.300 per liter. Adapun subsidi yang perlu dipenuhi pemerintah adalah selisih dengan harga jual premium saat ini, yaitu Rp 4.500.
Kurtubi mengatakan, memang minyak mentah yang diolah Pertamina juga termasuk minyak yang diimpor dari luar negeri. Namun, biaya pokok BBM seharusnya tetap lebih rendah dari harga internasional karena sebagian minyak mentah juga berasal dari domestic market obligation (DMO).
0 komentar:
Post a Comment